EDELWEIS
Edelweis
anaphalis javanica, itulah nama latin bunga ini. Cukup panjang namun familiar dengan sebutan Edelweis.
Primadona gunung yang langka ini banyak menjadi bulan-bulanan para pendak
gunung. Terkadang ketika mendaki pun aku ingin memetik satu dan ku bawa pulang.
Waktu aku mendaki Semeru, bunga itu tak bias kupetik karena ada polisi berjaga
di sana. Tapi impianku memetik Edelweis tinggal harapan saja yang tak akan
pernah terwujud. Karena aku kini adalah seorang gadis lemah yang sama sekali
tak berdaya. Tak lagi si Sita “betina tangguh” yang suka naik turun
gunung,sekarang yang ada hanya Sita yang rapuh dan diperbudak oleh kursi roda.
Aku jenuh dengan kursi roda ini,
yang seakan membatasi ruang gerakku. Namun kejenuhanku seakan menghilang saat
munculnya Marchel, yang mempunyai hobi hiking seperti aku. Tapi sayangnya empat
bulan aku kenal Marchel, aku tak pernah sama sekali bertatap muka dengannya. Karena kami hanya berkenalan lewat dunia maya. Sesekali pernah dia sms bahkan
menelponku. Setiap kali dia mengajakku bertemu, aku selalu menolaknya dengan
berbagai alasan. Padahal sebenarnya aku ingin melihat wajah itu tidak hanya
lewat foto. Namun apa dayaku,,rasa takut ini selalu muncul… hanya satu alasan
yaitu Kursi Roda ini!!
“Ta,,aku sudah kirim foto Semeru
lho.. sudah buka email mu?” dia mulai memberikan topik pembicaraan di telepon.
“Hmm,,belum
sempat aku lihat.. pasti bagus ya..?” jawabku.
“wah bagus sangat. Apalagi waktu
sunrise nya.. keren Ta!! Seandainya
kamu ada di sini,pasti semuanya akan jadi lebih indah.. hehe” tawa Marchel
kecil, dan aku hanya bisa terdiam.
“Ta, kamu masih di situ kan?
Kapan kita ketemu? Masa kalo aku ajak kamu selalu nolak. Kamu selalu jawab
BELUM WAKTUNYA,terus kapan coba waktunya?”, tanya Marchel menderu.
“Mungkin tidak akan perna Chel,
sebelum aku bisa memetik Edelweis dengan tanganku sendiri”, jawabku asal.
“oh
kamu pengen bunga itu ya! Gini aja deh, tanggal 24 aku naik Semeru lagi. Nanti
aku bawakan Edelweis untukmu. Walau itu bunga yang dilindungi, tapi demi kamu
akan kupetik Ta asal kamu mau menemuiku. Ya ya ya,, nanti tanggal 27 aku ke
Jogja dan 28 nya kita ketemu di Taman Kota. Kamu pake baju putih ya, jangan
mengelak dan jangan bilang tidak mau. Ini wajib untukmu,itu hari ulang tahunmu
kan.. hehe.. sampai jumpa minggu depan ya…Sita.” dan Marchel pun menutup
teleponnya sebelum aku sempat menjawab semua pernyataan itu.
Hatiku
berdebar-debar saat mulai ku buka email ku. Dan ternyata benar, Marchel mengirim
tiga fotonya di puncak Semeru. Senyum Marchel mengalihakan duniaku, itu adalah
senyum kepuasan, senyum kebanggaan di puncak Semeru. Aku pernah merasakan
senyum itu sewaktu pertama dan terakhir aku mendaki Semeru. Waktu itu adalah
kegiatan Pencinta Alam kampusku. Aku, Rika, Rio dan Faiz. Mungkin karena
kelelahan menyetir mobil dari Jogja, Rio kehilangan kendali. Truk besar di
tikungan itu ditabrak oleh Rio. Dan sesudah menabrak truk besar itu aku tidak
dapat mengingat kembali apa yang terjadi. Setelah sadar aku sudah berada di
rumah sakit Harapan Ibu. Dan aku terkejut ketika mendengar ketiga sahabatku Rika,
Rio dan Faiz telah berada di kamar jenazah. mungkin aku harus bersyukur karena Tuhan masih memberi kesempatan untukku
untuk menghirup udara kembali.
Hari ini tanggal 24, dimana
Marchel mulai melakukan pendakian ke Semeru. Marchel sempat menelponku sebelum
ia berangkat. Dan entah kenapa sentak aku mengungkapkan jati diriku yang
sebenarnya. Bahwa aku hanya seorang Sita yang lemah tak berdaya bersama kursi
roda.
“kamu
ngga kaget mendengar bagaimana aku sebenarnya?”, tanyaku di telepon.
“Kenapa
harus kaget? Memang kursi roda suatu hal yang amazing gitu? Engga kan? Biasa aja kali, tidak bisa berjalan bukan
berarti tidak bisa segalanya. Semua juga tidak ingin ada disitu bukan?
Terkadang orang yang mempunyai kaki dan bisa berjalan sekalipun tidak pernah
menghargai hidup dan memaknai persahabatan, seperti apa yang telah aku temukan
pada dirimu Ta. Hmm,,jangan lupa ya nanti hari minggu tangggal 28 di taman kota.
Dadan yang cantik ya?! ”, dan lagi-lagi Marchel langsung menutup teleponnya.
Hari-hari
ku lalui dengan semangat hidup yang diberikan Marchel kepadaku. Sekarang
tanggal 27. Waktunya Marchel turun gunung dan meluncur ke Jogja. Tibalah
keesokan harinya tanggal 28… Happy Birthday Sita!!!!! Akupun bergegas menuju
Taman Kota menunggu Marchel bersana Dina sahabatku.. satu jam aku menunggu
Marchel, dia tak kunjung datang. Ponselnya pun tidak aktif. Aku tetab sabar
menunggu seorang Marchel sampai dua jam berlalu, mungkin terjebak macet. Lima
jam aku menunggu, aku mulai bosan, mungkin dia tak mau bertemu dengan gadis
cacat seperti aku.
“Mungkin
Achel ngga akan pernah datang Din. Mungkin di matanya aku hanya seorang gadis
cacat yang banyak merepotkan orang. Haruskah aku bendung lagi air mata yang
hampir jatuh ini. Hanya orang bodoh yang mau bersahabat denganku.”, sesalku
sembari meninggalkan Taman Kota.
“Jangan
berfikir seperti itu. Aku menjadi sahabatmu itu dengan menerimamu apa adanya.”
Akhirnya
aku putuskan meninggalkan Taman Kota. Ternyata semua pria sama saja. Semacam
serigala berbulu domba. Sekali mengerti kekurangan seorang wanita, pasti dia
menjauh. Ah mungkin aku memang harus menerima nasibku yang seperti ini bersama
kursi rodaku. Ternyata hanya kekecewaan yang diberikan Marchel sebagai kado
hari ulathku hari ini.
Sementara itu diwaktu yang sama..
Di salah satu rumah di seberang
jalan Merdeka, terlihat wanita paruh baya menangis tersedu-sedu. Dan seorang
polisi disampingnya mengatakan “Bu, pencarian kami terhalang oleh kabut. Jasad
putra ibu belum bisa kami temukan. Kami hanya bisa menemukan tas ransel hitam
ini di tepi jurang yang kami duga adalah milik putra ibu.”
Sang ibu menenteng tas ransel
hitam lusuh berdebu itu masuk. Karena tak kuasanya ibu itupun terjatuh,
pingsan. Para petakziah pun membawa ibu itu ke dalam rumah. Tas itu ikut
terjatuh dan tercecer isinya. Dari dalam itu berceceran beberapa tangkai bunga
Edelweis dan secarik kertas kumal yang sudah terinjak-injak petakziah yang
bertuliskan:
“Edelweis memang tak seindah
mawar, juga tak seputih melati, namun mampu bertahan meski telah lama teprisah
dengan tangkakinya. Harapku, bertahanlah Edelweisku…..meski seberapa panjang
hidup akan berteman dengan kursi rodamu. Dan semoga kisah kita tak lekang oleh
waktu, layaknya Edelweis bunga lambang keabadian. Karena kita saling
menghidupi…Sita.”
Semeru, 27
Edelweis
dari Jogja yang tak kan layu
_ACHEL_
_Tha_
Tidak ada komentar:
Posting Komentar