Senin, 28 Mei 2012

Jogja Kenangan


EDELWEIS
                Edelweis anaphalis javanica, itulah nama latin bunga ini. Cukup panjang  namun familiar dengan sebutan Edelweis. Primadona gunung yang langka ini banyak menjadi bulan-bulanan para pendak gunung. Terkadang ketika mendaki pun aku ingin memetik satu dan ku bawa pulang. Waktu aku mendaki Semeru, bunga itu tak bias kupetik karena ada polisi berjaga di sana. Tapi impianku memetik Edelweis tinggal harapan saja yang tak akan pernah terwujud. Karena aku kini adalah seorang gadis lemah yang sama sekali tak berdaya. Tak lagi si Sita “betina tangguh” yang suka naik turun gunung,sekarang yang ada hanya Sita yang rapuh dan diperbudak oleh kursi roda.
                Aku jenuh dengan kursi roda ini, yang seakan membatasi ruang gerakku. Namun kejenuhanku seakan menghilang saat munculnya Marchel, yang mempunyai hobi hiking seperti aku. Tapi sayangnya empat bulan aku kenal Marchel, aku tak pernah sama sekali bertatap muka dengannya. Karena kami hanya berkenalan lewat dunia maya. Sesekali pernah dia sms bahkan menelponku. Setiap kali dia mengajakku bertemu, aku selalu menolaknya dengan berbagai alasan. Padahal sebenarnya aku ingin melihat wajah itu tidak hanya lewat foto. Namun apa dayaku,,rasa takut ini selalu muncul… hanya satu alasan yaitu Kursi Roda ini!!
                “Ta,,aku sudah kirim foto Semeru lho.. sudah buka email mu?” dia mulai memberikan topik pembicaraan di telepon.
                “Hmm,,belum sempat aku lihat.. pasti bagus ya..?” jawabku.
                “wah bagus sangat. Apalagi waktu sunrise nya.. keren Ta!! Seandainya kamu ada di sini,pasti semuanya akan jadi lebih indah.. hehe” tawa Marchel kecil, dan aku hanya bisa terdiam.
                “Ta, kamu masih di situ kan? Kapan kita ketemu? Masa kalo aku ajak kamu selalu nolak. Kamu selalu jawab BELUM WAKTUNYA,terus kapan coba waktunya?”, tanya Marchel menderu.
                “Mungkin tidak akan perna Chel, sebelum aku bisa memetik Edelweis dengan tanganku sendiri”, jawabku asal.
“oh kamu pengen bunga itu ya! Gini aja deh, tanggal 24 aku naik Semeru lagi. Nanti aku bawakan Edelweis untukmu. Walau itu bunga yang dilindungi, tapi demi kamu akan kupetik Ta asal kamu mau menemuiku. Ya ya ya,, nanti tanggal 27 aku ke Jogja dan 28 nya kita ketemu di Taman Kota. Kamu pake baju putih ya, jangan mengelak dan jangan bilang tidak mau. Ini wajib untukmu,itu hari ulang tahunmu kan.. hehe.. sampai jumpa minggu depan ya…Sita.” dan Marchel pun menutup teleponnya sebelum aku sempat menjawab semua pernyataan itu.
Hatiku berdebar-debar saat mulai ku buka email ku. Dan ternyata benar, Marchel mengirim tiga fotonya di puncak Semeru. Senyum Marchel mengalihakan duniaku, itu adalah senyum kepuasan, senyum kebanggaan di puncak Semeru. Aku pernah merasakan senyum itu sewaktu pertama dan terakhir aku mendaki Semeru. Waktu itu adalah kegiatan Pencinta Alam kampusku. Aku, Rika, Rio dan Faiz. Mungkin karena kelelahan menyetir mobil dari Jogja, Rio kehilangan kendali. Truk besar di tikungan itu ditabrak oleh Rio. Dan sesudah menabrak truk besar itu aku tidak dapat mengingat kembali apa yang terjadi. Setelah sadar aku sudah berada di rumah sakit Harapan Ibu. Dan aku terkejut ketika mendengar ketiga sahabatku Rika, Rio dan Faiz telah berada di kamar jenazah. mungkin aku harus bersyukur  karena Tuhan masih memberi kesempatan untukku untuk menghirup udara kembali.
                Hari ini tanggal 24, dimana Marchel mulai melakukan pendakian ke Semeru. Marchel sempat menelponku sebelum ia berangkat. Dan entah kenapa sentak aku mengungkapkan jati diriku yang sebenarnya. Bahwa aku hanya seorang Sita yang lemah tak berdaya bersama kursi roda.
“kamu ngga kaget mendengar bagaimana aku sebenarnya?”, tanyaku di telepon.
“Kenapa harus kaget? Memang kursi roda suatu hal yang amazing gitu? Engga kan? Biasa aja kali, tidak bisa berjalan bukan berarti tidak bisa segalanya. Semua juga tidak ingin ada disitu bukan? Terkadang orang yang mempunyai kaki dan bisa berjalan sekalipun tidak pernah menghargai hidup dan memaknai persahabatan, seperti apa yang telah aku temukan pada dirimu Ta. Hmm,,jangan lupa ya nanti hari minggu tangggal 28 di taman kota. Dadan yang cantik ya?! ”, dan lagi-lagi Marchel langsung menutup teleponnya.
Hari-hari ku lalui dengan semangat hidup yang diberikan Marchel kepadaku. Sekarang tanggal 27. Waktunya Marchel turun gunung dan meluncur ke Jogja. Tibalah keesokan harinya tanggal 28… Happy Birthday Sita!!!!! Akupun bergegas menuju Taman Kota menunggu Marchel bersana Dina sahabatku.. satu jam aku menunggu Marchel, dia tak kunjung datang. Ponselnya pun tidak aktif. Aku tetab sabar menunggu seorang Marchel sampai dua jam berlalu, mungkin terjebak macet. Lima jam aku menunggu, aku mulai bosan, mungkin dia tak mau bertemu dengan gadis cacat seperti aku.
“Mungkin Achel ngga akan pernah datang Din. Mungkin di matanya aku hanya seorang gadis cacat yang banyak merepotkan orang. Haruskah aku bendung lagi air mata yang hampir jatuh ini. Hanya orang bodoh yang mau bersahabat denganku.”, sesalku sembari meninggalkan Taman Kota.
“Jangan berfikir seperti itu. Aku menjadi sahabatmu itu dengan menerimamu apa adanya.”
Akhirnya aku putuskan meninggalkan Taman Kota. Ternyata semua pria sama saja. Semacam serigala berbulu domba. Sekali mengerti kekurangan seorang wanita, pasti dia menjauh. Ah mungkin aku memang harus menerima nasibku yang seperti ini bersama kursi rodaku. Ternyata hanya kekecewaan yang diberikan Marchel sebagai kado hari ulathku hari ini.

Sementara itu diwaktu yang sama..
                Di salah satu rumah di seberang jalan Merdeka, terlihat wanita paruh baya menangis tersedu-sedu. Dan seorang polisi disampingnya mengatakan “Bu, pencarian kami terhalang oleh kabut. Jasad putra ibu belum bisa kami temukan. Kami hanya bisa menemukan tas ransel hitam ini di tepi jurang yang kami duga adalah milik putra ibu.”
                Sang ibu menenteng tas ransel hitam lusuh berdebu itu masuk. Karena tak kuasanya ibu itupun terjatuh, pingsan. Para petakziah pun membawa ibu itu ke dalam rumah. Tas itu ikut terjatuh dan tercecer isinya. Dari dalam itu berceceran beberapa tangkai bunga Edelweis dan secarik kertas kumal yang sudah terinjak-injak petakziah yang bertuliskan:
                “Edelweis memang tak seindah mawar, juga tak seputih melati, namun mampu bertahan meski telah lama teprisah dengan tangkakinya. Harapku, bertahanlah Edelweisku…..meski seberapa panjang hidup akan berteman dengan kursi rodamu. Dan semoga kisah kita tak lekang oleh waktu, layaknya Edelweis bunga lambang keabadian. Karena kita saling menghidupi…Sita.”
                                                                                               
Semeru, 27
                                                                Edelweis dari Jogja yang tak kan layu
                                                                _ACHEL_


_Tha_

Tidak ada komentar:

Posting Komentar